Aku masih
teringat kejadian siang tadi. Tentang pandangan sinis dari seorang perempuan
tua di dalam bus yang kutumpangi. Pandangan sinis itu tertuju kepadaku.
Pasalnya sepele banget. Dia tidak suka dengan asap rokokku. Ya, aku tadi
merokok di dalam bus. Mulutku pahit dan aku perlu mengisi waktu sembari bus
yang kunaiki ini ngetem. Haha, dia pikir
aku akan peduli dengan tatapan sinisnya itu. Persetan dengan kepedulian.
Terserah mereka mau bilang aku perempuan yang tidak sopan, perempuan tidak benar.
Tahu apa mereka tentangku. Tahu namaku pun tidak.
sumber |
Dosen-dosen
menyebalkan. Begitu banyak tugas yang mereka kasih. Selesai satu, datang lagi
seribu. Niat hati sebenarnya ingin segera menyelesaikan tugas-tugas tersebut,
namun kepala ini penat sekali rasanya. Di ruang keluarga, mereka sibuk
bertengkar saja. Terlahir di keluarga broken
home ini benar-benar membuatku stress nyaris gila. Untunglah di dunia ini
ada yang namanya garet. Haha, garet selalu jadi pelarianku. Sudah 5 tahun aku
bersahabat dengan garet, sejak kelas satu SMA dulu. Awalnya hanya coba-coba,
aku mengambil sebatang garet punya Papa di atas meja. Aku menyalakannya dan
menghirupnya. Awalnya tidak mengenakan, namun akhirnya aku ketagihan. Garet
bisa menenangkan pikiranku.
***
Sial! Aku
heran, kenapa aku bisa merasa seperti ini. Kata orang, ini namanya
berbunga-bunga, ini yang namanya jatuh cinta. Rasanya seperti ada beribu
kupu-kupu yang menggelitik perutku ketika berinteraksi dengannya. Rio, lelaki
itu teman kampus dan dia bukan penghisap garet sepertiku. Dia tipikal anak
lelaki yang baik, rapi, namun jujur dia menyenangkan. Beberapa hari belakangan
ini dia sering mendekatiku, menanyakan hal-hal remeh seperti sudah makan? Jika
kubilang belum, dia akan langsung menyeretku ke kantin dan kami pun makan
bareng. Tidak, aku tidak boleh merasa cinta kepadanya. Perasaan cinta cuma akan
membawa kesedihan menahun yang susah untuk hilang. Perasaan cinta itu sama
dengan membawa diri kita ke tepi jurang lalu terjatuh ke dalamnya. Kedua
orangtuaku contohnya. Huft! Aku benar-benar perlu menghisap garet sekarang.
***
Kali ini
aku menghisap garet lebih banyak dari biasanya. Sudah lebih dari dua bungkus.
Pikiranku kalut dan bingung sekali. Rio NEMBAK aku. Dan aku menerimanya. OMG!!
Aku yang kupikirkan. Aku sudah membiarkan diriku jatuh ke jurang itu. Di satu
sisi, jujur aku menginginkannya. Rio tidak kenal menyerah dan tulus memperhatikanku.
Aku sayang Rio. Dan sekarang aku takut jika Rio tahu tentang kebiasaanku
menghisap garet ini. Rio tidak seperti perempuan tua yang tidak kupedulikan
apakah dia memandangku sinis atau malah membenciku gara-gara menghisap garet di
dekatnya. Aku peduli dengan pendapat Rio, aku peduli tentang bagaimana dia
memandangku. Aku pasti sudah benar-benar gila sekarang. Aku takut, tapi aku tidak
mungkin menjauhi garet. Aku gak bisa..
***
Hampir dua
tahun aku jadian dengan Rio. Dia bener-bener perfect buatku. Aku tidak mengerti, rasanya aku seperti kebanjiran
hadiah padahal aku tidak pernah ikut undian apapun. Anyway, hari ini aku sidang skripsi. Bisa selesai juga aku
ternyata. Rio mendampingiku sidang. Kata Rio, beberapa hari menjelang sidang
ini aku terlihat lemah dan kadang pucat. Ya, kadang malah aku merasa susah
menarik nafas. Rio tidak tahu tentang masalah pernafasanku ini, seperti halnya
dia tidak tahu kebiasaanku menghisap garet ketika aku sudah berada di kamarku.
Aku masih belum punya keberanian untuk mengaku. Kira-kira saat ini sudah hampir
tujuh tahun aku bersahabat dengan garet. Dan ketika akhir-akhir ini Rio
bertanya tentang kesehatanku yang sepertinya menurun, aku bilang saja kalau aku
kelelahan mempersiapkan sidang. Iya, aku juga yakin kalau aku cuma kelelahan.
***
Aku
menunggu Rio menjemputku. Dunia kerja cukup menyibukkan kami. Namun aku dan Rio
selalu berusaha menjaga hubungan ini. Memanfaatkan waktu bersama yang ada
sebaik mungkin. Well, Rio bilang, dia
akan sedikit terlambat. Bagiku tidak masalah karena Rio memang jarang membuatku
menunggu. Kuberniat mengisi waktu dengan bermain game di-smartphone-ku. Namun
alih-alih menemukan smartphone di
dalam tas, tanganku malah memegang si garet. Dan, aku tergoda untuk
menghisapnya. Ahh, dari dulu, memang lebih enak menunggu sambil menghisap
garet. Asap garetku mengepul naik bersama udara sore beranjak malam. Ketika
sebatang habis, kuambil batang yang kedua dan kembali sibuk menghisapnya. Aku
tak menyadari, Rio telah berada di dekatku. Refleks tanganku menyembunyikan
garet ke belakang badan. Aku kikuk dan Rio memandangiku seakan tak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
***
Beberapa
hari terakhir ini entah kenapa tubuhku terasa semakin melemah. Apa karena
kesibukan di dunia kerja? Atau apa ini efek dari mencoba berhenti menghisap
garet? Di malam itu, Rio menyatakan kekecewaannya kepadaku. Dia bertanya sejak
kapan aku mengenal benda jahat itu, mengenal garet. Rio tidak membentakku atau
marah-marah. Dia mengatakannya dengan sebaik dan selembut yang dia bisa.
Airmataku menetes. Padahal saat orangtuaku memutuskan bercerai, aku tidak
menangis. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa secengeng ini. Aku meminta maaf
kepadanya dan merasa malu sekali. Rio memintaku berhenti menghisap garet. Aku
menyetujuinya dan berjanji. Akhirnya aku harus memilih. Aku tidak mau
kehilangan Rio.
Sudah
sebulan lebih kucoba berhenti menghisap garet. Aku mencoba, jadi jangan
bayangkan kalau aku sudah berhenti total. Tidak mudah lepas dari garet. Rasanya
mood-ku lebih sering drop dan aku menjadi uring-uringan gak jelas. Aku perlahan
mengurangi jumlah garet yang kuhisap per harinya. Benar-benar tidak mudah
ditambah lagi kondisi tubuhku yang entah mengapa semakin melemah. Namun aku
bertekad penuh untuk berhenti demi menepati janjiku ke Rio. Hingga suatu kali,
aku pingsan di bilik kerjaku.
***
Aku
terbangun dan perlahan mengenali jika aku tengah terbaring di rumah sakit.
Tanganku terinfus. Rio duduk di samping ranjangku. Matanya terlihat menahan
pedih. Dia bilang tidak ada yang serius namun aku tidak percaya. Aku pun
mencoba menahan diri. Dua hari kemudian aku keluar dari rumahsakit. Dan sehari
kemudian Rio baru memberitahuku kalau aku divonis dokter mengidap kanker paru
stadium 4. Duniaku terasa runtuh.
Aku seolah
berjalan memasuki dunia baru. Dunia zombi. Badanku semakin kurus, pucat dan
lemah. Aku sudah pernah menjalani kemo yang pertama. Namun penyakit ini tak
juga berkurang. Dokter pun bilang jika kanker stadium 4 bukan lagi tentang
penyembuhan, hanya tentang perawatan. Ini tentang bagaimana mengurangi rasa
sakit akibat kanker, dan bukan tentang bagaimana menyembuhkannya.
Rio
(lagi-lagi) selalu ada untukku. Dia memperhatikanku, menemani pengobatanku
sambil terus memotivasiku untuk bertahan. Seperti saat ini, dia duduk
disampingku, disamping tubuh zombiku yang terbaring di ranjang rumah sakit. Aku
baru selesai menjalani kemo yang kedua dengan rasa sakit yang tak terbayangkan.
Aku menghela nafas dengan payah sembari berulangkali ku berpikir, hal baik apa
yang pernah kulakukan sehingga ku dihadiahi seorang Rio di sisiku.
Mereka
bilang aku zombigaret yang beruntung, namun bagiku keberuntungan adalah jika kubisa
bertahan hidup lebih lama agar bisa terus bersama dengannya, orang yang
kusayangi. Bahkan jauh sekali dalam benakku, keberuntungan itu adalah jika saja
aku tidak berpikiran dangkal, mencoba yang namanya garet lalu jadi kecanduan karena
stress, depresi atau apa pun itu.
Aku
menyesal telah membiarkan diriku bersahabat dengan garet dan merasai hidup
menjadi zombi seperti ini. Percayalah padaku, penyesalan ini terasa begitu
pahit. Air mataku jatuh berkelotak seiring nafasku yang naik turun dengan
perih. Rio memandangku dan menghapusi air mataku. Aku malu dengan Rio. Pun aku
sangat malu dengan diriku. Entah sampai kapan zombigaret yang satu ini mampu
bertahan. Garet bukan sahabat yang baik. Semoga hidupmu tidak sepertiku kawan.
----------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini adalah
fiksi yang kubuat sekitar dua tahun lalu
untuk diikutkan dalam suatu Giveaway. Namun, ini adalah draft awal dari apa
yang kuikutkan. Maksudku, aku mengedit dan mengompres kata dalam fiksi ini agar
sesuai dengan kriteria GA yang kuikuti.
Ini memang
fiksi namun tidak ada dialog di dalamnya. Bukan fiksi yang baik, ya, haha. Aku
juga tidak mengeditnya lagi. Terimakasih sudah membaca hingga kebaris ini. Semoga hari kalian menyenangkan. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar